Was Something Extraordinary

BAHASA DAN USIA

BAHASA DAN USIA

            Usia merupakan salah satu rintangan sosial yang membedakan kelompok-kelompok manusia. Kelompok manusia ini akan memungkinkan timbulnya dialek sosial yang sedikit banyak memberikan warna tersendiri pada kelompok itu. Satu hal yang membedakan dialek sosial jenis ini dengan lainnya, adalah dialek sosial kelas buruh, atau dialek regional.

1.      Tutur Anak-anak
Anak mulai belajar berbicara pada usia kurang lebih 18 bulan, dan usia kurang lebih tiga setengah tahun si anak boleh dikatakan sudah menguasai “tata bahasa” bahasa-ibunya, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan orang dewasa secara sempurna. Pada awal perkembangannya bahasa anak-anak itu mempunyai ciri antara lain adanya penyusutan (reduksi).
Kita dapat mengetahui dari penelitian Roger Brown dan Ursula Bellugi, yang disusutkan atau dihilangkan adalah kata-kata yang termasuk golongan fungtor atau kata tugas, seperti kata depan, kata sambung, partikel, dan sebagainya. Fungtor adalah kata-kata (atau butir gramatika seperti penanda jamak-es atau-s dalam bahasa Inggris) yang tidak mempunyai arti sendiri, dan biasanya hanya mempunyai fungsi gramatikal dalam sintaksis.
Kata-kata yang tetap bertahan dalam tutur mereka, adalah kata-kata tergolong kontentif atau kata penuh, yaitu kata yang mempunyai makna sendiri jika berdiri sendiri. Karena itu hilangnya fungtor tidak akan mengurangi isi makna suatu kalimat, dank arena itu kalimat mereka masih bisa dimengerti oleh orang dewasa.
Ada pula cirri universal dalam tutur anak-anak ditinjau dari segi fonologi. Misalnya, bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh gerak membuka dan menutupnya bibir yang biasa disebut bunyi bilabial, merupakan bunyi-bunyi yang sangat umum dihasilkan oleh anak-anak pada awal ujarannya. Bunyi bilabial itu dominant pada awal perkembangan bahasa anak. Misalnya: mak, mbok (jawa), mpok (Jakarta), me atau mek (Bali), mi, mam (Belanda), ma (Cina), mom (Inggris), bu (Melayu). Bunyi-bunyi inilah yang paling mudah dihasilkan, yaitu dengan hanya menggerakkan kedua bibir.
Dalam berbagai masyarakat bahasa Indonesia bunyi /r/ adalah bunyi yang paling sulit diproduksi. Banyak anak berusia 3 tahun yang masih mengucapkan /lumah/untuk rumah. Agak kurang sulit dari bunyi /r/ ini adalah bunyi /s/, yang untuk beberapa waktu diucapkan /c/, sehingga susu, sapi diucapkan/cucul,/capil/.

2.      Penyusutan dalam Tutur
      Penyusutan bentuk tutur pada anak-anak sebagian besar menyangkut fungtor. Semua bentuk penyusutan itu merupakan tingkah laku ekonomi bahasa, dalam arti penghilangan unsur-unsur tertentu yang dianggap tidak perlu tanpa mengurangi efektivitas komunikasi. Bentuk penyusunan yang biasa disebut bahasa telegrafis ini bukan hanya menjadi monopoli anak-anak. Tiga bukti bisa kita ajukan, penyusutan itu juga dilakukan oleh orang dewasa, yang mungkin juga karena alasan ekonomi dan kepraktisan, yaitu pada pegiriman telegram, ragam nonbaku, dan pijin.
(1)   Telegram
      Orang yang mengirimtelegram harus menggunakan “teori ekonomi praktis” agar biaya telegram tidak banyak. Caranya ialah dengan menyusutkan kata-kata tertentu, kebanyakan fungtor, dan mempertahankan kata-kata kontentif. Contohnya sebagai berikut:
                  Sebuah telegram berbunyi:
                  BERANGKAT JAKARTA GARUDA 644 JAM 14 MINGGU 12 JUNI.
                  Kalimat lengkapnya kira-kira berbunyi:
Saya akan berangkat dari Jakarta dengan pesawat Garuda nomor penerbangan  644 pada jam 14, hari Minggu, tanggal 12 Juni.
      Kata-kata bercetak miring itu sebagian adalah fungtor (akan, dengan, pada), sedangkan yang lain adalah bukan kata-kata kunci.
(2)   Ragam nonbaku
      Dalam setiap bahasa selalu ada ragam baku dan ragam nonbaku. Salah satu ciri dari ragam baku adalah adanya kaidah yang pasti dan konsisten, yakni suatu kaidah yang tidak boleh seenaknya dilanggar. Ini berbeda dengan ragam nonbaku yang relative “longgar”, seolah-olah tidak ada kaidah yang pasti. Sewaktu-waktu dan tiap saat orang bisa “membuat kaidah sendiri” dalam bertutur.
      Ragam baku mengandung watak konservatif, karena orang ingin dan bersifat inovatif, selalu ada orang yang ingin, secara sadar atau tidak, melakukan hal-hal yang lain yang berbeda dengan yang baku, dan timbullah “penyimpangan-penyimpangan”, yang dipandang dari sudut kebakuan menjadi “salah”. Salah satu wujud penyimpangan itu adalah penyusutan atau penyingkatan.
(3)   Pijin-Kreol
      Bahasa Inggris menunjukkan bahasa ini tersebar luas di dunia, dipakai sebagai lingua franca atau bahasa pengantar, bahasa komunikasi antarbangsa, dan dalam penyebarannya selalu mengalami penyusutan dan penyederhanaan. Semua diakibatkan oleh berbagai sebab, salah satunya adalah pengaruh dari bahasa ibu penutur yang bukan bahasa Inggris.
      Pijin adalah salah satu jenis lingua franca, karena fungsi sosialnya sama dengan lingua franca. Latar (setting) terjadinya pijin adalah bertemunya sejumlah penutur dengan latar belakang bahasa-ibu yang berbeda-beda, yang pada saat-saat tertentu oleh kebutuhan sesaat memerlukan alat komunikasi.
      Jika Pijin sudah mempunyai penutur asli, maka ia tidak lagi disebut Pijin, melainkan kreol. Pijin atau Kreol hakikatnya merupakan ragam yang “menyimpang” dari BM., sasaran penyusutan antara lain adalah fungtor, persis sama dengan tutur anak yang baru belajar B1.

3.      Tutur Anak Usia SD
      Anak usia sekitar 7 tahun biasanya sudah masuk SD. Setelah di SD kepada mereka diajarkan keterampilan suatu bahasa. Pertama, mereka diajar bahasa yang sebenarnya merupakan bahasa-ibu mereka sendiri. Misalnya, anak Bali dari lingkungan dialek yang tidak serupa dengan ragam baku yang mereka pelajari di sekolah. Anak-anak Tabanan yang tergolong penutur dialek/o/, dan anak-anak dari Sraya (karangasem) penutur dialek /a/, mungkin saja mengalami kesulitan ketika belajar bahasa Bali ragam /e-pepet/yang dianggap baku.
      Kedua, mereka diajari bahasa lain yang berbeda dengan bahasa-ibu. Contohnya adalah anak-anak SD di Indonesia yang umumnya B1-nya bahasa daerah, kemudian memperoleh bahasa Indonesia, sebagai B2. Pengajaran B2 inilah yang menyebabkan munculnya dwibahasawan-dwibahasawan muda. Kesalahan umum pada hakikatnya bersifat perkembangan (developmental). Artinya kesalahan itu terjadi dalam hubungan dengan perkembangan belajar, dalam hubungan dengan usahanya untuk menguasai keterampilan berikutnya. mereka sudah mengetahui cara untuk memperbaiki kesalahan, dan itu bisa dari guru atau penutur asli B2.

4.      Tutur Remaja
      Masa remaja mempunyai ciri antara lain petualangan, pengelompokan (klik), “kenakalan”. Ciri ini tercermin pula dalam bahasa mereka. Berikut ini akan dibicarakan beberapa bentuk bahasa antara lain sebagai berikut.
(1)   Penyisipan konsonan V + vocal.
Sebelum tahun lima puluhan dikalangan remaja muncul kreasi menyisipkan konsonan v + vocal pada setiap kata yang dipakai.
Contoh:
mata = ma + ta → (ma + va) + (ta + va) → mavatava
mati = ma + ti → (ma + va) + (ti + vi) → mavativi
matang = ma + tang → (ma + va) + (ta + va + ng) → mavatavang.
(2)   Penggantian suku akhir dengan –sye
Menjelang tahun enam puluhan muncul bentuk lain. Setiap kata diambil hanya suku pertamanya saja, suku yang lain dihilangkan, diganti dengan –sye.
Contoh:
kunci    → kunsye
tambahtamsye
(3)   Membalik fonem-fonem dalam kata (ragam walikan)
Bahasa rahasia yang unik di kalangan remaja, disekitar tahun 1960 muncul dimalang, tetapi akhirnya juga meluas. Dasarnya bisa bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kata-kata “dibaca” menurut urutan fonem dari belakang, dibaca terbalik (Jawa =Walikan).
Contoh:
mata   → atam
sari     →  iras
tidak  →  kadit
(4)   Variasi dari model (3)
Model pembalikan itu divariasikan. Caranya, kata yang sudah dibalik itu disisipi bunyi-bunyi tertentu, atau bunyi-bunyi tertentu dalam kata itu diubah. Misalnya
tidak  →  kadit  →  kadodit
sehat  →  tahes  → tahohes
atau:
nakam naskim → naskokim
raija    ojir      → ajojir

5.      Bahasa Prokem
Salah satu tutur remaja yang khas, dan muncul di Jakarta adalah apa yang disebut bahasa prokem. Kalau tutur remaja di Malang pernah dimunculkan oleh Subandi Djajengwasito dalam kongres MLI (Masyarakat Linguistik Indonesia) di Denpasar tahun 1983, bahasa prokem pernah diangkat oleh Lita Kawira Seminar Sosiolinguistik II di Jakarta, Desember 1988. Sudah terbit Kamus Bahasa Prokem oleh Prathama Raharja dan Henri Chambert Loir (1988). Pencipta aslinya sebenarnya adalah kaum pencoleng, pencopet, bandit, dan sebangsanya. Di Jakarta mereka disebut kaum preman. Pada bahasa waria dan gay ada rumus pembentuk sebagai berikut (A2a)
(1)   Setiap kata diambil 3 fonem, misalnya banci diambil ban-
(2)   Vokal di tengah diubah menjadi /e/, menjadi ben-;
(3)   Bentuk terakhir itu lalu ditambah dengan –ong, menjadi bencong.
Kata prokem itu sendiri berasal dari preman dengan rumus berikut:
(1)   Setiap kata diambil 3 fonem (gugus konsonan di anggap satu) pertama: preman menjadi prem-;
(2)   Bentuk itu disisipi –ok-, di belakang fonem (atau gugus fonem) yang pertama, menjadi: pr-ok-em atau prokem.
Terdapat juga singkatan-singkatan yang “dimunculkan” dari kata-kata umum, singkatan atau akronim.
Misalnya
tapol ‘tahu polos’ (bukan ‘tahanan politik’)
AC    ‘adegan cinta’
BP7   ‘bapak pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan’
HUT   ‘hanya untuk cinta’
PKI     ‘perawan katek item’
bodo   ‘bosan tapi doyan’
botol   ‘bodoh dan tolol’
fanta   ‘fanatik tapi  agresif’
Salah satu ciri “bahasa” remaja adalah “kreativitas”. Ragam seperti itu tidak bisa dilihat hanya dari sudut linguistik melainkan dari segi sosialnya.
Orang membuat akronim, khususnya kalangan remaja, dengan tidak menciptakan kata baru, melainkan menggunakan kata-kata lama yang sudah ada dan dikenal dalam bahasa Indonesia, dengan agak mengelitik, nakal, porno. Misalnya kondisi dan domisili disingkat kondom.
“Akronim” berikut ditemukan dari majalah remaja:
semampai           = semester tidak sampai
kalap                   = nakal pada waktu gelap
pendekar            = pendek tapi kekar
tante                   = tanpa tekanan
rindu                   = mikirin duit
`penguraian dan penafsiran ini mengingatkan kita kepada apa yang ada dalam bahasa jawa dikenal dengan kerata basa. Dengan cara ini orang menafsirkan kata-kata lalu dicari-cari kepanjangan dari kata itu, agar tanpa logis.
Contoh:
piring                 = sepi nek miring ‘sepi kalau miring’
dubang              = idu abang ‘ludah merah’
kerikil                = keri ing sikil ‘geli di kaki’
Ungkapan dan metafora cukup berani pula. Seorang anak kecil yang menarik disebut kelinci emas, yang banyak omong disebut parkit, yang nakal disebut setan kecil, monyet kecil. Metafora cukup manis terlihat pada contoh berikut:
a.      tersenyum tipis
b.      ada kesejukkan yang mengusap hatinya
c.       tiada lagu yang membelah kesunyian
d.      sikap gadis itu bisa dipakai ‘bahan mentah” bagi mimpi-mimpinya.

6.      Penelitian di Indonesia
      Penelitian dilakukan dengan baik oleh Aruan (1986) dan Yayah B.L. (1976). Aruan meneliti sikap generasi muda Batak yang merantau ke kota medan terhadap bahasa daerahnya. Yang diteliti adalah siswa SLTA dan Mahasiswa yang meninggalkan desanya untuk bersekolah dikota Medan. Mereka ada yang mondok atau ikut keluarga. Aruan menanyai mereka menggunakan kuesioner, mengenai bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Penelitian sikap bahasa juga menarik perhatian Yayah. Dia meneliti sikap guru bahasa Indonesia dan murid-murid SLTA di sejumlah sekolah di Jakarta. Dia juga memakai metode kuesioner untuk mengumpulkan data, untuk menjaring pengakuan responden. Hasil yang ditemukan yayah adalah: (1) Guru-guru pada umumnya mempunyai sikap positif terhadap bahasa Indonesia, tetapi jika dilihat dari segi usia, guru usia 30 tahun keatas lebih positif sikapnya dibandingkan dengan guru yang berusia dibawah 30 tahun; (2) murid yang berusia 20tahun keatas lebih positif terhadap bahasa Indonesia dibandingkan yang berusia dibawah 20 tahun.
      Yenny (1988) meneliti penggunaan bahasa pada masyarakat Jawa di Jakarta juga menyinggung masalah usia. Yenny menggunakan metode kuesioner tentang pengakuan diri responden. Salah satu pertanyaan yang diajukan peneliti adalah bahasa apa yang dipakai sehari-hari dirumah. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Pendidikan                     -50 thn               +50 thn
SD                                42                      43
SLTP/SLTA                  54                      89
PT                                 37                      102
         Kita bisa lihat, orang Jawa di Jakarta, yang berusia diatas 50 tahun, tidak peduli apapun pendidikannya, lebih sering memakai bahasa jawa dirumah, dibandingkan dengan mereka yang berusia dibawah 50 tahun. Jika dihitung secara statistik, ternyata perbedaan pemakaian bahasa Jawa dirumah itu sangat signifikan.



























DAFTAR PUSTAKA

Sumarsono. 2009. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
0 Komentar untuk "BAHASA DAN USIA"
Back To Top